Fokammsi’s Weblog

Forum Kajian Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

  • April 2008
    S S R K J S M
     123456
    78910111213
    14151617181920
    21222324252627
    282930  
  • Komentar Terbaru

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN ABDULLAH AN-NA’IM

Posted by fokammsi pada 23 April, 2008

Oleh: Abdul Hakim

Na’im merupakan salah satu tokoh Islam liberal yang pendapat-pendapatnya sudah tidak asing lagi bagi aktifis Islam liberal Indonesia. Na’im berasal dari Sudan—sekarang tinggal di Amerika. Disiplin keilmuannya adalah ilmu hukum, khususnya hukum public seperti criminal, Hak Asasi Manusia dan kebebasan sipil (civil liberties). Dia sempat menempuh pendidikan di Universitas Khourtum, kemudian ke University of Cambridge dimana dia meraih gelar LL.B dan Diploma dalam kriminologi. Pada tahun 1976, ia memperoleh gelar Ph.D dari University of Edinburgh. Sekembalinya ke Sudan dia diangkat menjadi jaksa dan pada saat yang sama dosen di alamamaternya. Na’im juga aktif dalam politik. Sejak muda dia sudah menggabungkan diri dengan partai Republican Brotherhood pimpinan Mahmud Muhammad Taha, tokoh plitik yang mati diekskusi di tiang gantungan, oleh pemerintahan Numeiri karena dituduh murtad.[1]

Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh saja (berhak) menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Islam. Artinya dalam mengklaim dan menggunakan hak-hak perorangan dan kolektif untuk menentukan nasib sendiri, kaum muslimin juga harus mengakui dan menjamin hak-hak yang sama bagi orang lain.

Persoalannya, menurut Na’im, jika syari’at histories (Na’im menggunakan istilah historical shari’ah untuk menamakan syari’at Islam) diterapkan sekarang, akan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia. Dan menurutnya, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat non-muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas dua dengan status dzimmi, dan bagi wanita, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan minimnya akses ke dalam kehidupan public. Bahkan kaum laki-laki pun, katanya, juga akan merasakan dampaknya, yaitu mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-undang.[2]

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Na’im mengajukan konsep perubahan dalam hukum public di Negara-negara Islam dengan membangun suatu versi hukum public Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern.

Untuk tujuan itu, Na’im menafikan kesakralan syari’at, karena syari’at bukanlah bersifat ilahiyyah (wahyu yang langsung datang dari Allah). Syari’at, menurutnya, adalah “the product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition”[3] (hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain). Formulasi syari’at, sebagaimana system perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Katanya “The techniques throught which Shari’a was derivied from the devine sources and the ways in wich in fundamental concepts and principles were formulated are clearly the product of the intellectual, social, and political processes of Muslim history,”[4] (teknik-teknik penjabaran syari’at dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, social dan politik umat Islam). Pemahaman atas syari’at seperti apapun selalu merupakan produk ijtihad dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[5] Dengan mengutip pandangan John L. Esposito, Na’im menyatakan kekurang-setujuannya atas perbedaan yang dibuat oleh muslim modernis antara syari’at dan fiqh, karena dalam prakteknya perbedaan ini kurang signifikan.[6]

Pandangan Na’im ini (menafikan kesakralan syari’ah) ternyata ingin menjadikan syari’ah itu bersifat relative. Ini tentu berbahaya, sebab dengan menghilangkan nilai kesakralan syari’at dan menjadikannya relative akan mengakibatkan berkurangnya kepatuhan umat Islam terhadap pelaksanaan syari’at itu, karena dianggap produk manusia dan tidak memiliki nilai kebenaran yang pasti.

Setelah syari’at sudah dianggap tidak sakral lagi, kemudian langkah selanjutnya, Na’im menyerukan untuk mereformasi syari’ah. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dengan framework syari’at yang ada. Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitive. Sementara hukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti hukum hudud dan qisas, status wanita dan non-muslim, hukum waris dan seterusnya.[7] Inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’im. Di satu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang oleh ketentuan ushul fiqh klasik “la ijtihad fi mawrid al-nass.” Oleh sebab itu, apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi. Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan menempuh jalan seperti yang pernah dilalui umat Kristen. Untuk itu ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membaca kitab bibel mereka,[8] tanpa menghiraukan perbedaan fundamental yang dimiliki kedua kitab suci ini.

Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah.[9] Esensi pendekatan ini adalah “…reversing the process of naskh or abrogation so that those texts wich were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogatin of text that used to be enacted as shari’a.”[10] di tempat lain dia menegaskan:

To achieve that degree of reform, we must be able to set aside clear and definite texts of the Qur’an and Sunna of Medina as having served their transitional purpose and implement those texts of the Meccan stage wich were previously inappropriate for practical application but are now the only way to proceed.[11] (Untuk mencapai tahap reformasi tersebut, kita harus sanggup menyingkirkan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Madinah yang jelas dan definitif karena mereka telah melaksanakan fungsi transisinya, dan selanjutnya mengimplementasikan teks-teks periode Mekkah yang sebelumnya tidak sesuai untuk tujuan aplikasi praktis akan tetapi sekarang menjadi satu-satunya yang harus ditempuh). Metodologi ini kemudian disebut evolusi syari’at yaitu “tafsir modern dan evolusioner terhadap al-Qur’an.” Secara ringkas evolusi syari’at bisa dijelaskan sebagai berikut:

    • Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Qur’an dan as-Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode awal Makkah dan berikutnya Madinah.
    • Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang pesan Madinah sebaliknya.
    • Syari’at historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis legislasi syari’at dengan me-naskh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Makkah yang belum bisa diaplikasikan.
    • Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena bertentangan dengan nilai-nilai modern.
    • Ayat-ayat Makkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi syari’at yang baru dengan me-naskh ayat-ayat Madinah.
    • Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam yang sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian masyarakat Barat saat ini.[12]

Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestiya merefleksikan pesan-pesan ayat-ayat makkiyyah.[13]

Kritik atas metodologi an-Na’im

Dari metodologi an-Na’im, ada dua persoalan yang harus dikritisisi, yaitu: konsep Makkiyyah – Madaniyyah dan konsep Naskh.

a. Konsep Makkiyyah-Madaniyyah

Konsep Makkiyyah-Madaniyyah merupakan salah satu konsep yang sangat penting yang harus dipelajari oleh seorang muslim bila ingin memahami kandungan al-Qur’an dengan benar. Banyak bukti telah menunjukkan bahwa munculnya beberapa penyimpangan pemahaman terhadap kandungan makna sebagian ayat al-Qur’an terjadi karena jauhnya pemahaman tersebut dengan pijakan sejarah pewahyuan, baik asbab al-nuzul maupun tartib al-nuzul.

Na’im di dalam menyusun formulasi hukumnya, menggunakan konsep Makkiyyah-Madaniyyah ini. Namun, Na’im memahami konsep Makkiyyah-Madaniyyah ini secara berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Menurutnya, ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah merupakan dua paket (tahapan) yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak saling terkait. Ia berbeda bukan saja terkait perbedaan masa turunnya, tetapi juga terkait dengan perbedaan tema dan misi yang dibawa, sasaran (khitab) nya, dan watak universalnya. Dari sini kamudian Na’im menyimpulkan bahwa ayat-ayat Makkiyyah membawa tema dan misi yang fundamental dan abadi, ia berbicara kepada semua manusia tanpa diskriminasi, melintasi batas dimensi waktu dan tempat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah membawa misi sementara, diturunkan untuk masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi manusia abad VII sehingga tidak bisa difungsikan lagi pada saat ini. Selanjutnya dengan menggunakan konsep naskh, ia melakukan generalisasi, ayat-ayat Makkiyyah me-naskh ayat-ayat Madaniyyah.

Untuk menguji konsep Na’im, kita perlu mengkaji lebih dalam apa hakikat konsep Makkiyyah-Madaniyyah itu; serta relevankah ia diaplikasikan dalam konsep evolusi syari’ahnya Na’im.

Untuk membedakan Makkiyyah dengan Madaniyyah, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri. Pertama, dari segi waktu turunnya. Makkiyyah adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekkah. Madaniyyah adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Makkah atau Arafah adalah Madaniyyah, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Mekkah. Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikutnya.

Kedua, dari segi tempat turunnya. Makkiyyah adalah yang turun di Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madaniyyah adalah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba dan Sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Maqdis tidak termasuk ke dalam salah satu Makkiyyah atau Madaniyyah. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Mekkah sesudah hijrah termasuk Makkiyyah.

Ketiga: dari segi sasaran (khitab) nya. Makkiyyah adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah; dan Madaniyyah adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Ayat al-Qur’an yang mengandung seruan yaa ayyuhan naas (wahai manusia) adalah Makkiyyah; sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyuhal ladziina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman) adalah madaniyyah. Namun ternyata banyak dari surat al-Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu.[14]

Ada perbedaan tema dari ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah yang merupakan ciri khas masing-masing. Kekhususan ayat-ayat Makkiyyah disebabkan masyarakat yang dituju ayat-ayat Makkiyyah adalah masyarakat kafir yang menyembah berhala dan tidak mau beriman, bahkan memusuhi orang-orang mukmin dan menyiksanya. Hal ini berbeda dengan ayat-ayat Madaniyyah yang diturunkan untuk mengajarkan umat beriman di Madinah.

Beberapa kekhususan tema ayat-ayat Makkiyyah itu adalah:

a. Menekankan seruan kepada Tauhid, beriman kepada risalah Nabi dan hari kiamat dengan segala kenikmatan surga dan kepedihan neraka, serta penolakan terhadap akidah sesat kaum kafir, dengan dalil-dalil ayat-ayat kauniyyah yang sangat rasional.

b. Seruan untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar ibadah, muamalat dan akhlak mulia. Seperti perintah ditegakkannya shalat lima waktu, diharamkannya memakan harta anak yatim, dilarangnya sikap sombong dan sebagainya.

c. Banyak menceritakan kisah Nabi-Nabi terdahulu, perjalanan dakwah mereka serta tantangan yang mereka hadapi. Dialog antara mereka dengan kaumnya, siksaan yang dialami kaum mereka yang ingkar dan durhaka, semuanya untuk dijadikan pelajaran agar mereka tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu dan mengikuti petunjuk yang benar dari seorang nabi utusan Allah.

d. Menggunakan bahasa yang singkat dan tajam, sangat cocok untuk kaum yang sombong dan tidak mau menerima kebenaran.[15]

Adapun kekhususan tema ayat-ayat Madaniyyah adalah:

a. berisi ajaran-ajaran tentang hukum-hukum Islam dalam urusan ibadah, muamalah, hukum pidana, fara’id, jihad dan sebagainya.

b. Berisi informasi tentang masalah kaum munafik dengan menyingkap segala kelicikan, penipuan dan langkah-langkah mereka yang membahayakan umat Islam.

c. Berisi informasi tentang masalah ahli kitab, maker yang mereka lakukan, kebatilan akidah mereka serta ajakan kepada mereka agar kembali kepada akidah yang benar.

d. Menggunakan bahasa yang panjang dan detil karena tema pembicaraan banyak menyangkut syari’at dan aqidah yang butuh keterangan tersendiri.[16]

Dari penjelasan di atas tampak betapa pentingnya pengetahuan tentang Makkiyyah-Madaniyyah, terutama dalam memahami al-Qur’an. Beberapa di antara manfaat dari pemahaman Makkiyyah-Madaniyyah itu adalah:

a. Semakin memperkuat keyakinan bahwa al-Qur’an itu kalam Allah yang mengandung mukjizat. Proses demi proses turunnya al-Qur’an dalam berbagai peristiwa, situasi dan kondisi, siang dan malam, dalam kondisi perang dan damai, dan setiap kali wahyu turun Rasulullah memerintahkan untuk menempatkan wahyu tersebut di tempatnya sehingga tersusun rapi sedemikian rupa, saling berkaitan, tanpa adanya kontradiksi antar satu bagian dengan lainnya. Seandainya al-Qur’an itu karangan manusia pasti banyak perbedaan dan kontradiksi di dalamnya. Di sini terlihat bahwa al-Qur’an itu berasal dari Allah yang tidak terpengaruh oleh situasi dan proses waktu. Sampai penyusunannya pun dari Allah, sehingga ia tidak mengikuti penyusunan kronologis.

b. Mempermudah memahami kandungan al-Qur’an, karena dengan mengetahui di mana, kapan, dan dalam peristiwa apa wahyu itu diturunkan, akan nampak maksudnya, kandungan hukum dan maknanya, sehingga bisa membantu memahami/menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umumnya lafazh, bukan sebab yang khusus.

c. Bisa membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila di antara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Ayat yang turun lebih dulu bisa di-naskh ayat yang turun kemudian.

d. Bisa mengetahui proses penurunan syari’at secara berangsur-angsur sehingga mudah diamalkan.

e. Bisa memahami sejarah perjalanan dan manhaj dakwah Nabi.

f. Meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Ini bsa dilihat dari perbedaan gaya bahasa antara ayat-ayat Makkiyyah dan ayat Madaniyyah.[17]

Di samping beberapa hal di atas, para ulama juga melakukan kajian yang sangat mendalam yang terkait dengan pembahasan Makkiyyah-Madaniyyah. Manna’ Khalil al-Qattan menyebut 14 macam kajian dalam ilmu Makkiyyah-Madaniyyah, yaitu:

a. ayat-ayat yang diturunkan di Makkah.

b. ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.

c. Ayat-ayat yang dipersilahkan

d. Ayat-ayat Makkiyyah dalam surat Madaniyyah

e. Ayat-ayat madaniyyah dalam surat Makkiyyah

f. Yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya Madaniyyah

g. Yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makkiyyah

h. Yang serupa Makkiyyah dalam kelompok Madaniyyah

i. Yang serupa Madaniyyah daam kelompok Makkiyyah

j. Yang dibawa dari Makkah ke Madinah

k. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah

l. Yang turun di waktu malam dan siang

m. Yang tutrun di musim panas dan musim dingin

n. Yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.[18]

Bila dibandingkan dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah yang digagas oleh para ulama, terlihat bahwa konsepnya Na’im lebih dangkal dan terkesan terlalu tergesa-gesa mengeneralisir masalah dan terkesan membuat kesimpulan yang dipaksakan.

Dari paparan di atas, nampak bahwa ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah tidak merupakan dua unit wahyu yang terpisah, dan juga di antara keduanya tidak ada yang lebih unggul dibanding lainnya. Justru di antara keduanya ada hubungan yang sangat erat, saling terkait dan berkesinambungan. Masing-masing memang memiliki gaya bahasa dan tema-tema khasnya masing-masing, karena itu sesuai dengan sasarannya. Dan dengan itu bisa diambil pelajaran tentang metode dakwah dan tahapan-tahapan dakwah. Ayat-ayat makkiyyah turun lebih dahulu dengan tema seputar akidah, kisah-kisah umat terdahulu dan dalil-dalil ayat kauniyyah yang rasional, menjadi dasar keimanan umat yang kokoh untuk membangun nilai-nilai agama di masa Madinah. Periode Mekkah adalah periode tarbiyah (pendidikan) dan I’dad (persiapan) serta penanaman tauhid untuk pada saatnya nanti menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat Madinah. Ayat-ayat Madinah tidak bisa tegak bila tanpa ditopang ayat-ayat Makkiyyah terlebih dulu.

Kesimpulan Na’im bahwa ayat-ayat Makkiyyah bersifat abadi, fundamental, universal, dan seterusnya; sedangkan ayat-ayat Madaniyyah bersifat diskriminatif, membawa misi sementara hanya untuk masyarakat tertentu di abad VII, perlu dipertanyakan kebenarannya. Insya Allah hal ini akan dijawab pada sanggahan tentang anggapan bahwa Islam diskriminatif terhadap wanita dan non muslim.

b. Konsep Naskh

Selain dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah nya yang nyleneh (tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh para ulama), Na’im membangun metodologi evolusi syari’atnya dengan konsep naskh. Dan konsep naskhnya Na’im pun ternyata juga menggunakan pengertian yang berbeda dengan yang telah digariskan oleh para ulama terdahulu. Apakah konsepnya Na’im bisa diterima dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Dan apa implikasinya terhadap al-Qur’an dan Islam?

Di dalam al-Qur’an kata naskh dalam beragam bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam Q.S 2: 106, 7: 154, 22: 52, dan 45: 29. Secara etimologis, kata tersebut dipakai dalam berbagai arti, antara lain pembatalan, penghapusan dan pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebaginya dinamakan nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan dan sebagainya disebut mansukh.[19]

Adapun pengertian terminologis tentang naskh, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Para ulama mutaqaddimin (abad I – III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup:

Pertama, pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.

Kedua, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.

Ketiga , penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

Keempat, penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[20]

Para ulama sepakat pada pengertian kedua, ketiga dan keempat. Namun istilah yang diberikan bukannya naskh, tetapi takhsis.[21] Sedang pengertian pertama, terdapat perbedaan pendapat ulama di dalamnya, yaitu adakah ayat al-Qur’an yang dibatalkan hukumnya?

Jadi pengertian naskh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya adalah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’I yang telah ada (lama/terdahulu) untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’I yang lain (baru) berdasarkan dalil syar’I yang datang kemudian.[22]

Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam penjelasannya tentang hikmah adanya naskh menyatakan bahwa, “Hukum-hukum Allah tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya suatu kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk semua hamba-hamba Allah.”[23]

Persoalan naskh menjadi kontrofersial ketika wacananya di bawa ke arah naskh internal al-Qur’an (naskh ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya) apalagi persoalan menaskh al-Qur’an dengan hadits. Jumhur ulama berpendirian bahwa menaskh sebagian ayat al-Qur’an dengan sebagian ayat yang lain diperbolehkan. Bahkan di antara mereka ada yang tidak keberatan untuk menaskh sebagian ayat al-Qur’an dengan hadits.[24]

Para ulama yang sepakat dengan konsep naskh internal al-Qur’an membagi naskh menjadi tiga macam, yaitu:[25]

Pertama, naskh tilawah dan hukm. Seperti yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah tentang “sepuluh susuan yang menyebabkan muhrim”, kemudian dinaskh oleh “lima susuan”.

Kedua, naskh hukm sedang tilawahnya tetap. Misalnya naskh hukm ayat idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap

Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Misalnya tentang ayat rajam.

Berbeda dengan pandangan jumhur, sebagian ulama yang dipelopori Abu Muslim al-Asfihani menolak naskh sesama ayat al-Qur’an, apalagi pe-naskh-an al-Qur’an dengan hadits. Sehubungan dengan itu mereka akan selalu bekerja keras mengkompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur dinyatakan ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Menurut mereka, ayat-ayat itu masih bisa dikompromikan (munasabah) melalui ta’wil (menafsirkan ayat keluar dari makna zahir), takhsis al-‘amm (pengkhususan ayat yang bersifat umum), maupun taqyid al-mutlaq (membatasi ayat yang bersifat mutlak).[26] Sebagian usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.[27]

Di sisi lain, para pendukung naskh menetapkan syarat yang ketat untuk menerapkan konsep naskh, yaitu:

a. hukum yang diganti tidak diikuti oleh ungkapan yang menunjukkan atas berlakunya hukum tersebut selama-lamanya (abadi). Jika nass yang akan dinaskh diikuti ungkapan yang menunjukkan keabadian nass tersebut, maka tidak boleh dinaskh. Misalnya, sabda NAbi yang menyatakan: “Jihad tetap berlangsung sampai hari kiamat”, dan firman Allah:”Dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya.”[28]

b. Hukum yang diganti (mansukh) tidak termasuk masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ulama atas kebaikan atau keburukan masalah-masalah tersebut. Oleh sebab itu, masalah-masalah yang diterima dari generasi ke generasi sebagai kebaikan (beriman kepada Allah, berbuat baik kepada orang tua, jujur, adil, dan sebagainya) harus diterima, atau sesuatu yang buruk (menganiaya, bohong, dan sebagainya) harus dihindarkan, tidak ada naskh dalam masalah seperti ini.

c. Nass yang mengganti (nasikh) turunnya harus lebih akhir dari nass yang diganti (mansukh), karena naskh berfungsi menghentikan berlakunya hukum yang terkandung dalam nass yang diganti (mansukh). Di samping itu, kedua nass harus sama tingkat kekuatannya.

d. Kedua nass (nasikh dan mansukh) benar-benar sudah tidak bisa dikompromikan. Bila kedua nass masih bisa dikompromikan meskipun dengan ta’wil maka nass tersebut tidak bisa di-naskh. Naskh hanya diperbolehkan sebagai langkah terakhir ketika nass tidak bisa dikompromikan sama sekali.[29]

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa di antara hukum-hukum syara’ ada yang tidak bisa dinaskh. Di antaranya adalah hukum yang telah ditetapkan berlakunya sepanjang masa, hukum-hukum yang telah disepakati para cendekiawan tidak dapat menerima perubahan karena secara mutlak diterima manusia sepanjang masa dan tempat, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah secara pasti. Setelah Rasulullah wafat, hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak dapat di-naskh dan berlaku sampai hari kiamat.[30]

Keterangan di atas membantah anggapan Na’im bahwa ulama generasi awal menerapkan konsep naskh dengan menghapus ayat-ayat Makkiyyah agar ayat-ayat Madaniyyah bisa diberlakukan. Konsep naskh adalah jalan terakhir ketika ayat-ayat tersebut tidak bisa dikompromikan dengan jalan lain. Jadi tidak bisa langsung dan asal me-naskh ayat-ayat Makkiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah. Apalagi model konsep naskh-nya Na’im yang membalik proses naskh, ayat yang turun lebih awal (makkiyyah) men-naskh ayat yang turun belakangan (madaniyyah). Ini tentu sulit diterima.

Kalau dibandingkan dengan teori naskh yang digagas Taha dan diadopsi oleh Na’im, konsep naskh yang disusun oleh para ulama terlihat lebih baik secara metodologi, lebih komprehensif dan utuh. Dan sebaliknya konsep nask-nya Na’im terlihat mentah, dangkal dan prematur. Hal ini terlihat, misalnya, adanya dikotomi ayat-ayat makkiyyah yang dianggap sebagai ayat utama, sementara ayat-ayat madaniyyah sebagai ayat tambahan. Hal ini tentu tidak ada dasarnya sama sekali dan menunjukkan ketergesa-gesaan atau pemaksaan dalam mengambil kesimpulan atau memang karena kedangkalan Na’im tentang ilmu al-Qur’an.

Karena dasar-dasar yang digunakan Na’im untuk membangun metodologi evolusi syari’atnya (yaitu konsep makkiyyah-madaniyyah dan konsep naskh) masih banyak mengandung kejanggalan-kejanggalan secara ilmiah, maka metodologinya pun sulit diterima secara ilmiah dan akan menimbulkan banyak pertanyaan bila diterapkan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khattan, Manna’ Khalil,”Studi Ilmu-Ilmu Qur’an”, terj. Mudzakir, cet. 6, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2001.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, “Tafsir al-Maraghi”, Dar al-Fikr, t.t.

Al-Salih, Subhi, “Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an”, Beirut: Dar al-‘Ilm a-Malayin, 1988.

Al-Shatibi, Abu Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Gharnati,“ Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah”, II/3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t..

An-Na’im, Abdullah Ahmed,”Towards an Islamic Rerormation”, Syracuse: Syracuse University Press, 1990.

Anwar, Shohibul,”Analisis Kritis Konsep Reformasi Syari’at Abdullah Ahmed An-Na’im dalam Hukum Publik”, Surabaya: Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007.

Ash-Shiddieqy, HAsby,”Tafsir al-Bayan”, jil. I, BAndung: al-Ma’arif, t.t.

Khallaf, ‘Abd. Al-Wahhab,”Ilm Ushl al-Fiqh”, Kuwait: Dar al-Qalam, 1990.

Rowi, H.M. Roem,”Menafsir Ulum Al-Qur’an”, Surabaya: Al-Fath Press, 2004.

Syafrin, Nirwan,”Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syari’at Islam”, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2007.

Taha, Mahmoud Muhammed,”The Second Message of Islam”, Syracuse: Syracuse University Press, 1987.

Zahrah, Muhammad Abu,”Usul al-Fiqh”, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958.


[1]John O. Voll, “Foreword,” dalam Abdullah Ahmad Naem,”Toward an Islamic Reformation, XI; Adang Djumhur Salikin,”Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An-Na’im”, Yogyakarta: Gama Media, 19-26.

[2] An-Na’im,”Towardas an Islamic Reformation”, (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990), 11.

[3] Ibid.,11.

[4] Ibid., 14.

[5] Ibid., 12.

[6] Ibid., 50 dan xiv.

[7] Ibid., 49-50.

[8] Abdullah Ahmad an-Na’im, “Islamic Foundation of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), dan, 1996, “Relgious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective”, The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, hal 70. Dikutip dari Nirwan Syafrin, op cit., hal. 44.

[9] Pemikiran keagamaan Mahmud Muhammad Taha dapat dibaca pada Mohamed Mahmoud,”Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His Modernist Project,” dalam John Coper, Ronald L Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), 1998, “Islam and Modernity: Muslim Intellectuals Respond “ (London and New York: I.B. Tauris, hal. 105-128.

[10] Abdullah Ahmad an-Na’im, “Toward an Islamic Reformation”, hal. 56 dan 180.

[11] Ibid., hal. 180.

[12] Shohibul Anwar, 2007, Analisis Kritis Konsep Reformasi Syari’at Abdullah Ahmed an-Na’im dalam Hukum Publik, Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

[13] Ibid., hal. 13.

[14] Manna’ Khalil al-Qattan, 2001, “Studi Ilmu-Ilmu Qur’an” (terj), cet ke-6, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, hal. 83-85.

[15] Amir Faishol Fath,”Hakikat al-Makkiyyah dan al-Madaniyyah dan Validitas Kekiniannya”, Al Insan I (2005), hal. 65-68.

[16] Ibid., hal. 72-73.

[17] Ibid., hal. 75-76; Manna’ Khalil al-Qattan, op cit., hal. 81-82.

[18] Manna’ Khalil al-Qattan, op cit., hal. 72-81.

[19] Subhi al-Shalih, 1977, “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an”, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, hal. 259-260.

[20] Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Gharnati al-Syatibi, tt, “ Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah”, II/3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal.81.

[21] Al-Salih, op cit., hal. 262.

[22] Abdul Wahhab Khallaf, 1990, “Ilm Ushul al-Fiqh”, Kuwait: Dar al-Qalam li al-Nasr wa al-Tawzi’, hal. 63.

[23] Ahmad Mustafa al-Maraghi, ___, “Tafsir al-Maraghi”, I, ___: Dar al-Fikr, hal. 187.

[24] Muhammad Abu Zahrah, 1958,”Ushul al-Fiqh”, Cairo: Dar al-Fikr al-Araby, hal.195-196.

[25] Manna’ Khalil al-Qattan, op cit., hal. 336-338.

[26] Hasby ash-Shiddieqy, ____, “Tafsir al-Bayan”, jil. I, Bandung: al-Ma’arif, hal. 215.

[27] Roem Rowi, 2004, “Menafsir Ulum al-Qur’an”, Surabaya: al-Fath Press, hal. 14.

[28] Al-Qur’an, 24:4.

[29] Khallaf, op cit., hal. 222; Zahrah, op cit., hal. 190.

[30] Zahrah, op cit., hal.191.

Tinggalkan komentar